Siapa Diza?
Sahabat terdekatku bertanya.
Aku berpikir sejenak lalu aku menjawab, "Aku temanmu, yang setiap hari memakai rok. Yang selalu bingung ingin beli apa. Yang selalu mencarimu di saat aku senang dan menangis. Yang suka meneleponmu minta kamu datang ke rumah hanya untuk mendengar aku cerita. Yang suka mentraktirmu kalau aku punya uang. Yang mendengarkan kamu cerita tapi selalu bingung memberi solusi. Yang hanya bisa mendengar namun tidak bisa merespon dengan baik. Yang bisa ikut menangis melihat kamu menangis. Entah itu menangis sedih ataupun haru.
Siapa Diza?
Ayah, Ibu, dan Kakakku bertanya.
Aku sedikit kesal kenapa mereka harus bertanya hal ini. Bukankah aku sedarah dengan mereka? Aku anak paling kecil di rumah. Yang selalu ingin menjadi pusat perhatian. Anak kecil yang mengagumi Ayah, Ibu, dan Kakaknya. Yang kadang2 sirik dengan kakaknya karena merasa dia jauh lebih hebat. Yang suka iba2 memeluk ibunya dan menciumnya tak henti2. Yang suka mengendus2 di balik pundak ayahnya, karena dia suka wangi parfumnya. Yang pundungan kalau tidak diajak pergi. Yang sok cuek dan "saya baik2 aja dan tidak perlu diketahui" kalau ditanya tentang percintaan. Yang tidak pintar mengekspresikan rasa sayang, cinta, dan peduli terhadap mereka.
Siapa Diza?
Pacarku bertanya
Aku langsung menjawab. Aku ini perempuan yang selalu menghubungimu. Yang tidak pernah ingin ketinggalan kabar darimu. Yang suka "melemahkan" diri karena aku ingin kamu "menguatkanku". Yang selalu ingin tahu apapun tentang kamu. Yang pernah membuatmu bahagia sampai langit ke 7, tapi pernah juga menjatuhkanmu dari situ. Yang selalu tersenyum saat bersamamu. Yang selalu ingin memelukmu. Yang selalu minta kata2 sebelum tidur agar aku bisa tidur. Yang suka manja kadang-kadang berlebihan. Yang sering mencarimu. Yang selalu mengekspresikan rasa sayangnya. Yang selalu berharap suatu saat akan menikah. Yang takut kehilanganmu.
Siapa Diza?
Tuhanku bertanya
Aku makhluk ciptaan-Mu yang disebut manusia. Yang sering meninggalkan shalat. Yang selalu menangis di sujudnya saat aku tersadar betapa lancangnya aku. Yang melakukan kesalahan yang sama berkali-kali. Yang memohon maaf padamu atas kesalahan yang sama berkali-kali. Yang jauh darimu, bahkan kadang aku merasa malu untuk mendekatimu karena kadang aku merasa bahwa aku sudah terlalu lancang kepadaMu. Yang setelah itu aku memohon maaf padaMu, MenyembahMu sebisanya aku khusyuk. Yang selalu menangis ketika mengingatMu. Yang selalu takut mendengar NamaMu karena keagunganMu. Yang takut akan nerakaMu dan mendamba surgaMu. Yang selalu merasa bersalah di hadapanMu. Yang ingin memelukMu dan merasakan cintaMu.
Siapa Diza?
Aku terdiam. Aku menatap orang yang bertanya padaku.
Ternyata orang itu adalah aku sendiri.
Lalu aku tetap terdiam. Dan aku tak bisa menjawab.
Friday, September 25, 2009
Wednesday, September 16, 2009
Berhentilah Menjadi Gelas
Maaf untuk ketidak sopanan posting saya sebelumnya, karena saya memang benar2 merasa lemah. Tapi tadi saya buka2 FB dan menemukan notes dari Dira DI'08, emosi saya mulai mereda. dan otak saya masih bisa berpikir secara baik. Silahkan dibaca! Semoga mempengaruhi pemikiran anda! :)
Seorang guru mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.
“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.
“Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru.
“Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.
“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.
“Sekarang kau ikut aku” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka.
“Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”
“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum.
“Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah ditakar oleh Tuhan, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ”hati” yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”
Seorang guru mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.
“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.
“Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru.
“Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.
“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.
“Sekarang kau ikut aku” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka.
“Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”
“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum.
“Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah ditakar oleh Tuhan, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ”hati” yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”
Sunday, September 6, 2009
Kembali ke Adele
Sudah berapa kali mungkin saya mem-posting lagu ini, memakai lirik lagu ini, menyanyikan lagu ini, dan memikirkan lirik lagu ini.
I've made up my mind
Don't need to think it over
If I'm wrong I am right
Don't need to look no further
This ain't lust
I know this is love
But if I tell the world I'll never say enough 'cause it was not said to you
And that’s exactly what I need to do if I end up with you
Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere or would it be a waste
Even if I knew my place should I leave it there
Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere
I build myself up and fly around in circles
Waiting as my heart drops and my back begins to tingle
Finally could this be it
Or should I give up
Or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere or would it be a waste
Even if I knew my place should I leave it there
Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere
Yeah
Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere or would it be a waste
Even if I knew my place should I leave it there
Should I give up or should I just keep on chasing pavements
Should I just keep on chasing pavements
Oh
Oh
Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere or would it be a waste
Even if I knew my place should I leave it there
Should I give up or should I just keep chasing pavements
Even if it leads nowhere
Subscribe to:
Posts (Atom)